Kamis, 23 Februari 2012

Korup-Pssi !!!

Beberapa pekan ini, kursi abu-abu di ruangan pengadilan tindak pidana korupsi jadi kiblat jutaan masyarakat di Indonesia.
Walau hanya berlebar sekitar 60 sentimeter, kursi itu sudah cukup laku disambangi kalangan atas negeri.
Mulai dari kalangan ulama, pengusaha, petinggi partai politik, putri Indonesia,
hingga menteri berkesempatan menduduki kursi.

Pada akhirnya banyak masyarakat yang bertanya;
kalangan mana di Indonesia yang masih tidak terjamah kursi korupsi dan suap, baik sebagai tersangka atau sekedar saksi? Kalangan di olahraga, khususnya sepak bola, bisa jadi salah satu jawabannya.
Kendati masih terbebas dari jeratan kursi pengadilan negeri atau pengadilan tindak korupsi, tidak lantas
menjamin sepak bola Indonesia belum " bersih" dari ancaman kejahatan kerah putih. Sebaliknya, bukan rahasia lagi bila di lapangan hijau berukuran 120x 60 meter itu bukan hanya jadi ajang pesepak bola di dunia. Para "koruptor" pun kerap menyamar dengan atribut kostum kesebelasan, ofisial, hingga wasit.
Praktik suap, atur skor, hingga mafia wasit adalah bisa jadi terjemahan baru
tentang "korupsi sepak bola".Fenomena ini pun kerap terekam dalam memori masa lalu sepak bola Indonesia.
Seorang pengamat sepak bola sekaligus aktivis supporter Indonesia, Sigit Nugroho angkat suara akan fenomena korupsi di lapangan sepak bola Indonesia.

Korupsi di sepak bola Indonesia, kata dia, sudah dalam level sangat parah.
Bahkan korupsi telah mengakar kuat sebagai sebuah sistem yang sulit dikuak, sekalipun oleh aparat negeri. “Korupsi di sepak bola Indonesia sifatnya sudah berjamaah. Memang
sangat sulit untuk menguaknya. Beberapa kasus sempat muncul seperti kasus skandal wasit jafar Umar tahun 1998 dulu, namun kemudian penegakannya tidak jelas,” ungkap Sigit dalam sebuah acara di Jakarta.

Sebagai salah seorang orang yang aktif di seputaran duni sepak bola nasional, dia pun mengungkapkan sejumlah fenomena ganjil.
Menurutnya, di Indonesia ada seorang pelatih yang nyambi sebagai agen pemain. Pelatih tersebut kemudian menutupi agensi pemain yang dimilikinya dengan rekayasa kepemilikan perusahaan.
Dengan metode itu, barulah si pelatih leluasa dalam mengatur hasil pertandingan.
“Dia tinggal atur saja pertandingan yang ada pemainnya,” ungkap Sigit.
Pun halnya dengan wasit yang bisa diajak negoisasi di luar lapangan.

Sebagai cara mengendus praktik wasit nakal, cukuplah saksikan sebuah partai sepak bola Indonesia selama 90 menit. Tidak jarang, tim mendapat sebuah hadiah penalty ganjil di menit akhir yang bisa mengubah hasil laga.

Wartawan senior, Yesayas Oktavianus lebih lantang mengungkapkan kasus korupsi sepak bola yang melibatkan sejumlah oknum sepak bola nasional. Dengan suara yang menggebu dia angkat suara; “Ada seorang petinggi liga cerita pada saya.
Dia bilang; kamu tahu tidak ISL dan LPI yang dulu berputar, sebenarnya sudah diatur! Bandarnya ada di Malaysia,” ungkap Yesayas dalam sebuah sesi acara.
Tidak hanya itu, lanjut Yesayas, banyak pula eks pemain yang kini sudah bertobat dan mengaku mereka adalah bagian dari jaringan judi sepak bola.
Namun sayang, semua yang terucap soal korupsi sepak bola, justru sama sekali tidak muncul ke permukaan.
Di saat praktik korupsi sepak bola mulai terbongkar di sejumlah negara di dunia, hanya Indonesia yang masih
belum melakukan susuatupun. Saat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan aparat lain mulai berhasil menangkapi tikus berdasi, sebaliknya tikus berkostum masih bebas berlari di sejumlah lapangan.
Sebagai contoh, di Jerman—sebuah negara dengan indeks persepsi korupsi terbaik ke 14 di muka bumi versi
Transparansi Internasional—kasus korupsi sepak bola terjadi dan melibatkan sorang wasit bernama Robert Hoyzer.
Di negara yang paling bersih ke 69 dunia, Italia, sebuah mega skandal korupsi terus terjadi. Mulai kasus calciopoli yang melibatkan seorang direktur klub Juventus Luiciano Moggi, hingga yang paling anyar, jaringan judi
sepak bola Italia yang akhirnya membekuk sejumlah pesepakbola tenar macam Christiano Doni dan Giuseppe Signori, 2011 lalu.
Kasus korupsi sepak bola pun kini mencuat di Asia. Beberapa bulan lalu, Cina menangkap sekitar 60 pemain dan ofisial terkait pengaturan hasil liga sepak bola mereka.

Bagaimana dengan Indonesia? Di negara yang tercecer di peringkat 100 soal indeks persepsi korupsi, belum ada satu pun korupsi sepak bola yang terbongkar sejak 1998!
Sebuah pertanyaan besar tentunya bagi PSSI, polisi, jaksa, hingga KPK? Apakah memang kisah korupsi hanya sebatas mitos di sepak bola Indonesia? Apakah memang sepak bola Indonesia lebih jujur dibandingkan negara Jerman, Italia, dan Cina?

Kalau memang dunia sepak bola Indonesia terbebas dari korupsi, bisa jadi merekalah kalangan manusia paling suci di tanah ibu pertiwi, melebihi alim ulama, pejabat politik, ataupun putri Indonesia.

@republika

Tidak ada komentar: