Senin, 09 April 2012

Menangisi Sepakbola Indonesia



I

Petang mulai beranjak dari rumput Stadion Gelora Bung Karno. Cahaya mentari yang meredup tergantikan oleh sinar lampu dari kedua atap stadion yang diarsiteki Friedrich Silaban itu. Kendati kualitas lampu masih kalah terang dengan kualitas pencahayaan Santiago Barnabeu, namun hal itu sudah cukup membuat bocah nusantara terkesima dan bangga.

Bagi mereka, kemegahan Stadion Bung Karno jadi penghias mimpi dan cita. Suatu saat mereka bermimpi menginjakkan kaki di atas rumput yang bermandikan temaram cahaya dan sanjung puja.

Seketika riuh pun menggema. Gemuruh suara tercipta dari teriak bocah dan 100 ribu supporter lain yang berjejalan di setiap sudut Stadion Gelora Bung Karno. Stadion Gelora Bung Karno petang itu jadi lautan harap, mimpi, dan antusiasme bocah bersama seluruh warga Indonesia yang ingin menyaksikan pemain dengan kostum garuda di dada.

Namun antusiasme tidak dirasakan oleh seorang bocah yang berdiri di tengah kerumunan tribun VIP Barat. Antusiasme bocah itu harus terhadang oleh ulah dari oknum yang berdesak masuk ke dalam stadion. Bocah yang berumur sekitar sembilan tahun itu terhimpit di antara oknum yang saling sikut untuk mendapat sudut pandang ideal di Stadion.

Sang bocah menangis karena tidak kuasa lagi menahan rasa pengap dan sakit akibat ambisi pribadi oknum. Oknum yang memakai segala cara untuk memuluskan kepentingan dirinya. Walhasil ambisi oknum harus mengorbankan si bocah yang terpojok dalam derita.

Kisah buram yang terjadi sebelum laga final Sea Games 2011 itu mungkin hanya menyakiti fisik seorang bocah. Selang tujuh bulan, sebuah kisah pedih baru terancam dirasakan tidak hanya oleh sang bocah di VIP barat namun oleh jutaan anak lain di nusantara. Sebuah kisah yang bisa jadi merusak mimpi, harapan, dan cita cita anak nusantara yang ingin melihat tim nasional Indonesia bersaing meraih piala juara.

II

Adalah aksi saling sikut para pengurus sepak bola yang membuat mimpi bocah kini tersudut dalam jurang kehancuran. Aksi yang mengancam sepak bola dijatuhi sanksi FIFA pada 15 Juni mendatang. Pasalnya di waktu yang tinggal kurang dari tiga bulan itu, para politisi sepak bola terus berpolemik demi melanggengkan kursi kuasa.

Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI), yang kini mengklaim diri sebagai PSSI versi Ancol, coba terus menebar bara dalam sepak bola nasional. Sekalipun tidak diakui FIFA, organisasi dibawah pimpinan La Nyalla Matalitti itu tetap ngotot merasa berhak menguasai hajat sepak bola nasional. "PSSI Djohar Arifin telah tamat. Mandat Djohar telah dicabut oleh voters yang telah dituangkan dalam Kongres Mercure (Ancol). Sekarang satu-satunya PSSI yang sah adalah PSSI hasil Kongres Mercure (Ancol)," kata LA Nyalla dengan bahasa lugas.

Apakah benar ucapan yang dikatakan LA Nyalla bahwa Kongres Ancol KPSI telah resmi mengkudeta PSSI Djohar Arifin ? Jawaban yang mendekati kebenaran bukan sekedar mendengar retorika La Nyalla, melainkan badan hukum resmi.

Yang menarik, badan arbitrase tertinggi dunia, CAS telah menyatakan bahwa gugatan LA Nyalla cs ketika ingin melengserkan PSSI Djohar, tidak diterima. Legitimasi kongres Ancol pun hanya didapat dari orasi verbal dan tertulis La Nyalla maupun pendukungnya, minus verifikasi badan independen.

Tidak diakuinya Kongres Ancol juga ditegaskan FIFA lewat surat elektronik tertanggal 16 Maret "Harap dicatat, FIFA tidak pernah berpikir hadir dalam kegiatan yang disebut 'Kongres KPSI' ," ungkap FIFA.

Namun KPSI tidak bergeming. Kongres dibentuk dan PSSI tandingan pun terwujud yang diketuai LA Nyalla Matalitti. Sebuah kondisi yang memantik kekhawatiran FIFA dan AFC.

III

"Exco FIFA diberi penjelasan singkat tentang perkembangan mengenai kegagalan (Indonesia) untuk memutar satu liga professional dan ancaman perpecahan setelah anggota federasi sepak bola Indonesia setelah menggelar dua kongres di hari yang sama. Di mana keduanya mengklaim kongres telah kuorum," tulis FIFA dalam surat tertulis tertanggal 30 Maret 2012 yang ditandatangani Sekjen, Jarome Velcke.

Tidak hanya FIFA, AFC pun mengaku prihatin dengan kondisi yang menjangkiti sepak bola Indonesia. Sebagai bentuk perhatian untuk menyelamatkan sepak bola Indonesia dari sanksi FIFA, AFC membentuk satuan tugas khusus yang akan memberikan arah penyelesaian bagi Indonesia untuk keluar dari konflik.

Walau mengaku prihatin, FIFA secara jelas mengungkapkan dukungannya PSSI Djohar Arifin untuk menyelesaikan polemik yang bermula dari dualisme kompetisi itu. Dukungan FIFA tertuang dalam surat yang sama dan ditanda tangani oleh Velcke tersebut.

"Kami berterimakasih atas perhatian anda dan berharap PSSI dapat sukses membawa kembali seluruh anggota PSSI dalam satu payung (organisasi) yang pastinya akan sangat berguna bagi seluruh pecinta sepak bola Indonesia," ungkap FIFA.

Harapan FIFA pastinya juga menjadi keinginan bocah. Mereka mungkin masih terlalu polos untuk mengatehui seluk beluk konflik yang ditebar oleh para actor yang pandai berpolemik. Yang bocah-bocah itu harapkan hanya melihat tim sepak bola Indonesia berprestasi.

Namun untuk urusan prestasi itu jutaan bocah Indonesia siap kembali menelan kecewa. Jangankan bersatu membangun tim nasional yang kuat, skuat Merah Putih pun terancam perpecahan menysul maneuver La Nyalla untuk membentuk tim nasional Indonesia versi Kongres Ancol!

Sungguh ironis, sebuah konflik kelompok bisa membuat Ibu pertiwi terancam pecah oleh insan oleh anak bangsanya sendiri. Jika tim nasional tandingan tercipta bukan tidak mungkin sanksi FIFA akan datang lebih cepat bagi Indonesia. Sanski yang boleh jadi merupakan harapan dari sekelompok pihak namun tangisan bagi jutaan anak.

@republika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar